Raja Berdagu Lancip

Ada seorang raja yang memiliki putri yang sangat cantik tetapi sombong dan angkuh sehingga tidak satu pun pria yang dianggapnya sesuai dengan sang Putri. Selain menolak, sang Putri sering mengolok-olok mereka.

Pada suatu ketika, sang Raja mengadakan pesta besar dan mengundang semua Raja dan pemuda bangsawan yang belum menikah untuk hadir di pestanya. Saat pesta, mereka yang datang diatur untuk duduk sesuai dengan kedudukan dan pangkatnya.

Pertama adalah barisan raja, lalu pangeran, lalu bangsawan-bangsawan. Sang Putri lalu dihadirkan untuk diperkenalkan kepada Raja-raja dan pemuda bangsawan tersebut. Saat sang Raja dan Bangsawan dihadapkan kepada Sang Putri, sang Putri mengolok-olok mereka dan memberi julukan yang jelek-jelek pada setiap orang yang hadir.

Salah seorang pemuda yang gemuk, dijuluki ”si Gendut” oleh sang Putri, pemuda yang terlalu tinggi dijuluki ”Tiang”. Untuk pemuda yang ketiga dan terlalu pendek dibandingkan sang Putri, dikatakan ”si Bongsor, tidak cocok tinggal di istana,” ledek sang Putri.

Pemuda keempat yang terlalu putih diolok dengan julukan ”Muka Pucat”, dan semua pemuda yang hadir mendapatkan julukan yang aneh-aneh dari sang Putri, termasuk seorang raja yang sangat tinggi dan memiliki dagu lancip.

”Lihat,” kata sang Putri sambil tertawa, ”dia memiliki dagu lancip seperti paruh burung,” ejeknya.

Sejak saat itu, raja tersebut disebut dengan julukan ”Paruh Lancip”. Ayah sang Putri yang sangat marah karena melihat putrinya mengolok-olok semua yang hadir, membatalkan perjamuan, dan bersumpah bahwa sang Putri akan dinikahkan dengan pengemis yang pertama masuk ke pintu istana.

Beberapa hari setelah itu, datanglah seorang pria miskin yang mencari nafkah dengan cara menyanyi atau mengamen, berdiri di bawah jendela istana dan menyanyi demi mendapatkan sedikit uang. Saat sang Raja mendengar nyanyiannya, Raja memanggilnya masuk ke istana. Si Miskin kemudian masuk ke istana dengan pakaiannya yang sangat kotor, menyanyi untuk Raja dan Putri Raja. Setelah selesai, si Miskin meminta sedekah dari sang Raja. Sang Raja lalu berkata, ”Lagu yang kamu nyanyikan, sungguh membuat saya senang, maukah kamu apabila saya menikahkan kamu dengan putriku.”

Si Miskin menjawab setuju untuk menikah dengan sang Putri.

Sang Putri menjadi sangat ketakutan, tetapi sang Raja berkata kembali, ”Saya telah bersumpah untuk menikahkan kamu dengan pengemis yang pertama datang ke sini. Jadi, saya tidak akan mengubah sumpah saya!”

Tidak ada jalan lain, sang Putri akhirnya dinikahkan dengan si Miskin di depan pemuka agama. Setelah dinikahkan, sang Raja berkata, ”Sekarang kamu telah menjadi istri dari seorang pengemis, kamu tidak saya perkenankan lagi untuk tinggal di istana, dan kamu harus ikut kemana pun suamimu pergi.”

Si Miskin kemudian membawa sang Putri keluar dari istana dan melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga sampai di kerajaan lain. Di perjalanan, mereka menjumpai hutan yang sangat luas, dan sang Putri bertanya, ”Oh, milik siapakah hutan ini, begitu lebat dan bagus?”

Si Miskin menjawab, ”Ini adalah milik Raja Dagu Lancip, dan mungkin saja bisa menjadi milik kamu.”

Sang Putri menangis, ”Oh, betapa bodohnya saya, seandainya saya menerima lamaran dari Raja Dagu Lancip!”

Mereka kemudian berjalan kembali hingga menjumpai padang rumput yang luas, ”Oh, milik siapakah padang rumput ini, begitu hijau dan indah?”

Si Miskin menjawab, ”Ini adalah milik Raja Dagu Lancip, dan mungkin saja bisa menjadi milik kamu.”

Sang Putri menangis, ”Oh, betapa bodohnya saya, seandainya saya menerima lamaran dari Raja Dagu Lancip!”

Lalu si Miskin berkata, ”Saya kecewa mendengar kamu berharap untuk menjadi istri orang lain, apakah saya tidak cukup baik untuk kamu?”

Saat mereka tiba di sebuah gubuk yang kecil, sang Putri bertanya, ”Oh! kasihan! Milik siapakah gubuk kecil yang saya lihat di sini?”

Si Miskin menjawab, ”Ini adalah rumahku dan juga sekarang rumahmu.”

Sang Putri berhenti sebelum masuk ke gubuk kecil itu dan bertanya, ”Di manakah para pelayan?”

”Pelayan apa?” tanya si Miskin. ”Kamu harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Menyalakan api, mengambil air, dan memasakkan saya makanan. Saya sangat letih.”

Sayangnya sang Putri tidak tahu bagaimana menyalakan api dan memasak, sehingga si Miskin harus membantu dan turun tangan sendiri. Setiap subuh, sang Putri dibangunkan oleh si Miskin untuk membersihkan gubuk. Untuk beberapa hari, mereka hidup berkecukupan hingga persediaan makanan mereka hampir habis.

”Istriku,” kata si Miskin. ”Kamu sebaiknya bekerja membuat keranjang agar kita mendapatkan penghasilan tambahan.”

Untuk itu, si Miskin keluar gubuk untuk memotong daun-daun yang bisa dijadikan anyaman lalu membawanya pulang. Sang Putri kemudian merajutnya, tetapi daun-daun yang keras dan tajam melukai tangannya yang halus.

”Sekiranya hal ini tidak berjalan dengan baik,” kata si Miskin. ”Sebaiknya kamu mencoba untuk menenun.”

Sang Putri pun duduk dan mencoba untuk menenun, tetapi benang yang tajam, mengiris tangannya yang halus hingga berdarah.

”Lihatlah sekarang!” seru si Miskin. ”Kamu tidak mampu mengerjakan apapun. Coba saya lihat nanti, mungkin saya dapat menjual pot dan pecah-belah, kamu cukup duduk saja di pasar dan menawarkan barang tersebut ke orang yang lalu-lalang.”

”Aduh!” pikir sang Putri. ”Bagaimana seandainya saat saya berjualan di pasar, orang-orang yang berasal dari kerajaan ayah saya akan mengenali saya dan saya akan diperolok oleh mereka?”

Tetapi tidak ada jalan selain cara itu, kalau tidak, mereka mungkin akan mati kelaparan. Hari pertama semua berjalan baik, orang-orang senang membeli jualannya karena sang Putri sangat cantik. Mereka membeli pot dan pecah-belahnya dengan harga berapa pun yang diberikan oleh sang Putri, sebagian malah memberikan dia uang tanpa mengambil pot pecah-belah yang telah dibeli.

Oleh sebab itu, si Miskin dan sang Putri dapat menghidupi diri mereka, bahkan si Miskin bisa menambah barang jualannya. Maka duduklah sang Putri di sudut pasar dengan barang dagangannya yang lebih banyak lagi. Suatu hari, seorang pengendara kuda yang mabuk, tanpa sengaja menabrak semua pot dan pecah-belah yang dijual oleh sang Putri hingga hancur berkeping-keping. Sang Putri tidak dapat berbuat apa-apa selain menangis.

”Aduh, apa yang akan terjadi pada saya,” tangisnya. ”Apa yang akan dikatakan oleh suami saya?”

Tidak lama setelah itu, sang Putri pun pulang terburu-buru untuk menceritakan nasib buruknya.

”Mengapa kamu menjual di sudut pasar? Saya sendiri tidak pernah mendengar orang yang menjual pecah-belah di sudut pasar!” kata si Miskin. ”Berhentilah menangis. Saya lihat kamu tidak cocok mengerjakan pekerjaan biasa. Saya telah mencoba bertanya di istana kerajaan ini, siapa tahu mereka bisa menerima kamu bekerja sebagai pembantu di dapur, dan mereka tidak keberatan untuk menerima kamu. Kamu juga akan menerima makanan secara gratis di sana.”

Lalu sang Putri pun bekerja menjadi pembantu di dapur, menjadi suruhan tukang masak dan melakukan pekerjaan yang berat. Di setiap saku bajunya, dia mengikat sebuah pot kecil, dan membawa pulang sisa-sisa makanan untuk dia dan suaminya.

Suatu hari, di istana diselenggarakan pernikahan untuk pangeran yang tertua. Sang Putri yang sudah hidup miskin, naik ke lantai atas dan berdiri di pintu untuk melihat pesta yang diselenggarakan secara besar-besaran. Saat lampu di mana pesta diadakan mulai dinyalakan dan tamu telah tiba, semua orang terlihat gagah dan cantik, sehingga sang Putri menjadi sedih dengan nasib yang dialaminya, menyesali semua keangkuhan dan kesombongan yang membuatnya jatuh miskin seperti sekarang.

Saat pelayan lewat sambil membawa piring-piring yang berisikan makanan yang lezat lalu-lalang di depannya, pelayan tersebut membagi sedikit makanan untuk sang Putri yang langsung diselipkan ke dalam sakunya, dengan rencana akan dibawa pulang untuk dimakan bersama suaminya.

Sang Pangeran sendiri lewat di didepannya dengan baju dan jubah sutranya, lengkap dengan perhiasan emas yang melingkari lehernya. Saat sang Pangeran melihat wanita cantik yang berdiri di pintu, sang Pangeran lalu memegang tangannya dan mengajak sang Putri untuk berdansa dengannya, tetapi sang Putri menolak bahkan menjadi gemetar saat melihat bahwa pangeran tersebut sebenarnya adalah Raja Dagu Lancip yang pernah datang untuk meminang dirinya dan mendapatkan ejekan dari sang Putri.

Saat sang Putri berusaha melepaskan genggaman tangan sang Raja Dagu Lancip, tali yang mengikat pot pada sakunya terputus, dan pot yang tersimpan di sana menjadi pecah dan isinya berhamburan keluar. Saat orang melihat kejadian itu, semua tertawa terbahak-bahak. Sang Putri pun bergegas meninggalkan istana dengan perasaan malu, tetapi sebuah tangan menggenggam kembali tangannya. Saat sang Putri berbalik dan melihat ke belakang, dilihatnya Raja Dagu Lancip tengah menatap wajahnya dengan serius.

”Janganlah takut, saya sebenarnya adalah si Miskin yang tinggal bersama kamu di gubuk kecil itu. Demi cintaku kepadamu, saya menyamar jadi orang lain. Saya pulalah yang memecahkan pot jualanmu saat saya menyamar menjadi pengendara kuda yang mabuk. Saya melakukan semua ini untuk menundukkan hatimu yang angkuh, sekaligus menghukum tingkahmu yang tidak pantas.

Sang Putri pun menangis dan berkata, ”Saya telah melakukan banyak kesalahan besar, dan saya tidak pantas menjadi istrimu.”

Tetapi sang Raja Dagu Lancip berkata, ”Beranikanlah dirimu, semua sifat-sifat burukmu telah hilang, mari kita hadiri pesta ini, karena pesta yang sekarang saya adakan sebenarnya adalah pesta pernikahan kita.”

Lalu saat itu, datanglah pengiring pengantin yang memakaikannya gaun pengantin yang indah. Tidak lama kemudian, ayah sang Putri juga datang beserta seluruh bangsawan dari kerajaan ayahnya, mengucapkan selamat atas pesta pernikahannya dengan Raja Dagu Lancip. Mereka akhirnya pun hidup berbahagia selamanya.