Si Uno Sakit Perut

Sore itu, ada ketukan di pintu kamar Uno. Uno yang sedang asyik membaca komik dengan malas-malasan bangun dari tempat tidur, lalu membukakan pintu. Ternyata Mimi.
“Uno, kamu mau ikut kami tidak?” tanya Mimi.
Di belakang Mimi ada Radhi, Sapta dan Naia, teman-teman sekolahnya.
“Mau kemana?”
“Mau menjenguk Fathir. Dia kan sakit, sejak kemarin tak masuk sekolah.”
“Oh, baiklah. Aku ikut.”

Maka berangkatlah mereka berlima ke rumah Fathir bersama-sama. Di perjalanan Uno baru sadar kalau Mimi dan teman-temannya masing-masing membawa bungkusan tas plastik.
“Kalian bawa apa itu?”
“Oh, ini? Aku sih bawah roti yang tadi siang dibikin Ibu,” jawab Mimi.
“Aku bawa kue,” jawab Radhi.
“Aku bawa pepaya. Tadi siang, ayahku memetik pepaya dari pohon yang tumbuh di halaman rumah. Banyak sekali yang masak. Aku minta satu untuk kuberikan pada Fathir,” jawab Naia panjang lebar.
“Aku sih bawa buku. Biar Fathir tak bosan di tempat tidur,” jawab Sapta.
“Hmmm.. kenapa musti bawa begituan sih?” tanya Uno lagi.
“Uno, ini kan seperti kata Ibu Guru, untuk menunjukkan simpati kita pada teman yang sedang sakit dan ikut mendoakan supaya dia lekas sembuh,” jelas Mimi.

Uno hanya diam saja sambil mengamati bungkusan-bungkusan yang dibawa oleh teman-temannya.
Sesampainya di rumah Fathir, mereka kemudian menyerahkan bungkusan oleh-oleh tadi kepada Fathir. Fathir tampak senang sekali diberi roti, kue, pepaya dan buku oleh teman-temannya. Uno entah kenapa sejak tadi masih diam saja. Matanya terus saja mengamati semua bingkisan yang tadi dibawa. Bahkan ketika Mimi, Fathir, Radhi dan Naia ramai sekali mengobrol, Uno masih tetap diam, seperti sedang memikirkan sesuatu.

Keesokan harinya, Mimi mengetuk pintu kamar Uno.
“Unooooo…! Ayo bangun…!! Kamu tak sekolah?”
Tak terdengar suara dari dalam kamar Uno. Mimi lalu mengetuk sekali lagi dengan lebih keras.
“Unooooooooo…!! Banguuuun…!!”
… dan masih saja tak ada jawaban. Dengan heran, Mimi memutar handle dan dibukanya pintu. Dilihatnya Uno berbaring meringkuk di balik selimut. Perlahan Mimi mendekati Uno. Disentuhnya pundak Uno.
“Uno…?”
Betapa kagetnya dia ketika dilihatnya Uno meringis-ringis.
“Kamu kenapa?”
“Addduuuuuhhhh………,” rintih Uno.
“Kenapa? Ada apa?” Mimi semakin cemas.
“Aduhhhh, Mi… Perutku sakit sekali,” rintihnya sambil memegangi perut dan berguling ke kanan dan ke kiri.
“Wah, ya sudah, nanti aku bilang sama Ibu kalau perutmu sakit. Sudah, kamu tak usah sekolah saja. Istirahat saja di rumah.”

Mimi lalu bergegas keluar kamar dan memberi tahu Ibu tentang apa yang terjadi dengan Uno. Sekeluarnya Mimi dari kamar, Uno bangun dari tempat tidur, mengendap-endap ke arah pintu dan mengintip dari lubang kunci. Lalu dia meloncat kegirangan.
“Yes!” katanya, “Sebentar lagi aku pasti akan diberi makanan yang enak-enak, komik-komik dan minuman-minuman yang segar.”
Oowwww… ternyata, Uno berbohong. Dia tidak sakit, tapi dia ingin dimanjakan dan diberi makanan yang enak-enak oleh teman-teman.

Tak lama, Ibu pun mengetuk pintu kamar Uno. Uno segera masuk lagi ke balik selimut dan memasang tampang memelas. Ibu membuka pintu dan ternyata Ibu membawakan segelas teh hangat untuk Uno.
“Kamu sakit? Ini Ibu bawakan teh, juga obatnya. Segera diminum yaaa.. supaya kamu lekas sembuh.”

Ketika Ibu sudah keluar, Uno meminum tehnya dengan nikmat sekali. Diambilnya obat yang ada di tatakan gelas, dan lalu dilemparkannya keluar jendela.
“Aku kan tidak memerlukan obat ini. Kalau tidak kubuang, nanti ketahuan aku tidak sakit,” gumamnya.

Tak lama, Ibu masuk lagi ke kamarnya.
“Sudah diminum obatnya? Wah, pinter. Nanti pasti segera sembuh. Nih, ibu bawakan roti kesukaanmu.”
Waaaahhh.. Ini dia!! Uno memakan habis semua roti yang ada di piring setelah Ibu keluar dari kamar. Perutnya lantas menjadi kenyang. Ahhhh, enaknya kalau sakit itu. Kalau seperti ini sih, sepertinya aku mau sakit tiap hari. Pikirnya.

Siang harinya, kembali ada ketukan di pintu kamarnya. Uno segera masuk lagi ke balik selimut, dan mempersilakan masuk.
Ternyata ada Mimi, Naia, Radhi, Fathir dan Sapta.
“Kamu sakit, Uno? Ini kami bawakan roti, kue dan biskuit. Juga buah. Semoga kamu lekas sembuh ya…” kata Naia.
“Wah, terima kasih ya teman-teman,” kata Uno sambil pura-pura meringis-ringis kesakitan. “Kalau kalian tak keberatan, aku mau istirahat dulu ya. Nanti makanan dari kalian pasti kumakan. Tapi perutku ini sekarang sakit sekali. Jadi, bisakah kalian pulang saja?”
Naia, Radhi, Mimi, Fathir dan Sapta saling berpandangan.
“Baiklah kalau begitu, Uno. Semoga cepat sembuh,” kata Mimi dan mereka pun berpamitan.

Sepeninggal teman-temannya, Uno meloncat turun dari tempat tidur lalu membuka semua bungkusan itu dengan tergesa-gesa. Dimakannya semua roti, kue dan biskuit itu dengan senang. Tangan kanan memegang roti, tangan kiri memegang kue, dan dengan bersama-sama dimasukkannya semua ke mulutnya.

Tak berapa lama kemudian, semua roti, kue dan biskuit itu sudah habis dimakannya. Uno bersandar kekenyangan di kursi. Dia lalu berjalan sempoyongan ke arah kasur bermaksud untuk merebahkan diri sejenak.

Dan… tiba-tiba, perutnya sakiiiiiittt sekali. Aduuuuuhh… Uno mengernyit. Kok tiba-tiba sakit begini? Sekali lagi perutnya melilit. Aduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhh… Uno memegangi perutnya. Dan sekali lagi melilit lagi. Aduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhh… Uno bangun dan duduk di kasur.

Perutnya pun makin melilit dan sakit. Dia juga merasa mual dan ingin muntah. Lama-lama menjadi tak tertahankan. Terbungkuk-bungkuk Uno berlari ke belakang. Ibu melihat Uno berlari sambil memegangi perut ke arah WC.
“Uno, kenapa kamu nak?”
Uno tidak menjawab. Dia menangis di dalam WC. Dalam hati dia berjanji, tak akan berpura-pura sakit lagi.