Pilt, Monster Yang Tak Menyeramkan

Profesor Simon, bosku, memintaku mencari Artur. Ia temanku sesama ahli geologi. Artur menghilang di sebuah lembah di wilayah Afrika. Saat itu ia sedang menyelidiki jejak manusia purba.

Setibanya di Afrika, aku langsung menuju lembah itu. Penduduk setempat bercerita bahwa lembah itu berbahaya. Ada monster pemangsa manusia tinggal di balik lembah itu. Namun aku tidak takut. Sambil menggendong ransel kulit berisi berbagai peralatan, kumulai perjalananku mencari Artur.

“Apa sih yang dicari Artur di tempat seperti ini?” omelku saat merayap dengan susah payah di antara celah batuan pegunungan. Aku tak berani menoleh ke bawah. Setibanya di puncak, aku bingung tak tahu harus ke mana lagi. Akhirnya aku tertidur bersandar di dinding batu.

Entah berapa lama aku tertidur. Tiba-tiba ada bulu-bulu kasar mengusap wajahku. “Aaaaa…” aku menjerit sekuat tenaga. Mataku melotot melihat sosok mahluk berbulu tebal di hadapanku.
Aku sudah bersiap-siap lari andai diserang. Tapi, aneh! Ia malah bertepuk-tepuk tangan dan menyeringai. Sepertinya senang melihatku ketakutan. Diam-diam kuambil sebuah alat berbentuk terompet kecil. Kutekan tombol merahnya dan kuarahkan ke tubuh mahluk itu.
Krsk kersk! Tuit… Krsk… tuit! Alatku mulai bekerja. Kini aku bisa mengerti apa yang diucapkan monster itu.
“Horee, manusia itu ketakutan! Lalala… dia takut padaku!”
Kudekatkan alat berbentuk corong terompet itu ke mulutku, “Hei! Jangan ganggu aku. Wajahmu yang mengerikan membuatku takut!” seruku.

Dengan bantuan alat itu, makhluk itu kini mengerti ucapanku. Ia berhenti meledek dan mendekat ke arahku. “Jangan takut! Aku ingin jadi temanmu. Baru kamu yang ketakutan melihat wajahku. Teman-temanku bilang, wajahku terlalu tampan dan tidak cocok menjadi monster!” ia lalu menangis tersedu-sedu.
Mulanya aku ingin tertawa mendengar ucapannya. Mana ada monster yang tampan, batinku, Tapi melihat ia menangis seperti anak kecil, hatiku jadi iba.
“Sudah, jangan menangis. Bagiku kamu sangat menyeramkan. Aku belum pernah bertemu monster. Jadi kukira kau hendak memakanku,” ujarku.
Monster itu menggelengkan kepala. “Apa kau tak tahu, monster cuma makan buah dan sayur. Untuk apa aku memakanmu. Aku tidak doyan!”
“Kalau begitu, mengapa kalian selalu menakut-nakuti manusia?”
“Ya, terpaksa,” jawabnya lugu, ”kalau tidak ditakut-takuti, manusia akan menemukan tempat persembunyian kami. Dan kami bisa dibunuh. Temanmu sendiri bilang, kami harus hati-hati terhadap manusia.”
“Temanku? Maksudmu… Artur?” tanyaku berdebar-debar.
Monster itu mengangkat bahu. “Aku tak tahu siapa namanya. Dua minggu lalu kami memergokinya sedang mengamati gua kami. Ia sekarang tinggal bersama kami.”
Aku lega sekaligus cemas. Kini Artur berada di sarang monster!

Tiba-tiba monster itu mengangkat tubuhku dan menjepit pinggangku dengan ketiaknya, ”Akan kubawa kau ke tempatku,” katanya. Aku tak bisa menolak. Kupejamkan mata kuat-kuat saat dibawa menaiki bukit-bukit batu, melintasi padang rumput… kepalaku sampai pusing.

Setelah itu aku ditarik memasuki gua dengan lorong bercabang-cabang. Lamaaa sekali kami berjalan dalam kegelapan. Akhirnya seberkas cahaya terlihat di ujung lorong.
“Di sinilah tempat tinggalku,” tunjuk monster itu.

Tempat itu membuatku tertegun. Seluruh dinding dan lantai gua dilapisi emas. Monster-monster kecil berkejar-kejaran. Monster-monster yang lebih besar bercanda dengan riangnya.
“Halo, Monster Tampan,” sapa monster berkepala naga. ”Rupanya kau bawa teman lagi?” Wajah monster ini dan monster lainnya, jauh lebih mengerikan dari monster yang membawaku ke sini.

Mereka lalu menyuguhiku buah-buahan dan minuman sari buah yang segaaar sekali. Aku juga diajak menari dan menyanyi. Monster berkepala babi yang berbulu hijau lalu bercerita,
“Zaman dulu, nenek moyang monster dan manusia bersahabat. Tapi sejak teknologi manusia semakin maju, mereka jadi ingin tahu segala hal. Bangsa monster pun mulai diburu. Mereka mengorbankan persahabatan sejati demi kepentingan pribadi. Sejak itulah kami tinggal di gua ini turun-temurun. Menunggu saat yang tepat untuk kembali ke dunia luar. Tapi kudengar manusia semakin ganas. Padahal kami tak pernah memusuhi mereka.”
“Apa aku bisa keluar dari tempat ini?” tanyaku kemudian.
Monster-monster itu terkekeh-kekeh,”Tentu saja. Kami tak pernah menahan siapa pun yang ingin pergi dari sini.”
“Aku tak percaya!” nada suaraku mulai naik. “Buktinya temanku yang kalian tangkap dua minggu lalu, belum juga kalian bebaskan!”

Monster bertangan empat langsung menarik lenganku ke tempat yang mirip perkebunan di dalam gua. Sinar matahari masuk melalui pantulan-pantulan cermin yang dipasang di sekiling gua. Di situ ternyata ada beberapa manusia. Mereka sedang memetiki buah. Artur juga ada di situ!
“Kami berada di sini bukan karena ditahan monster. Tapi untuk mencari kedamaian. Lihat saja! Di tempat ini terdapat banyak sekali emas. Tapi monster-monster itu tidak saling membunuh untuk memperebutkannya,” cerita Artur.
Kutepuk bahu Artur perlahan,”Semua mahluk memang ingin hidup damai. Tapi, kau tak boleh melupakan tanggung jawabmu. Dan melupakan bos kita, Profesor Simon. Kalau Profesor mengira kita ditangkap monster, ia bisa datang ke lembah ini membawa tentara. Tempat ini tidak akan tenang lagi.”
Artur terdiam.
Kataku lagi, ”Lebih baik kita pulang. Dan mengajarkan kedamaian di luar sana. Semoga suatu saat nanti monster-monster bisa bersahabat dengan manusia kembali.”

Artur akhirnya mau kuajak pulang. Kami berdua sepakat akan merahasiakan tempat itu. Ketika akan pulang, si monster tampan memaksa ingin ikut. Terpaksa ia kubawa pulang di dalam peti. Dengan syarat ia tak boleh memperlihatkan dirinya pada manusia lain. Monster tampan itu kuberi nama Pilt.

Mula-mula Pilt memang tidak sekali pun keluar dari rumahku. Tapi suatu sore sepulangnya dari kantor, Pilt meloncat keluar dari semak-semak sambil berteriak mengagetkanku. Tampaknya ia senang sekali melihat wajahku yang pucat terkejut. Cepat-cepat kusuruh ia masuk. Untung sudah sore, jadi kurasa tak ada orang yang melihat kejadian itu.

Suatu malam saat sedang nonton televisi, pintu rumahku diketuk seseorang. Ketika kubuka, Jeni, anak kecil tetanggaku. Ia tersenyum sambil mengulurkan sebuah kantung plastik, katanya, ”Paman, tolong berikan permen ini pada monster yang tinggal di rumah Paman. Tadi pagi aku sudah berjanji akan memberinya permen.”
Aku melongo mendengarnya. Segera kutarik Jeni masuk.
“Jeni, apakah orang tuamu tahu tentang monster ini?” tanyaku gugup.
Ia menggeleng membuatku lega. Tapi…” Marthina dan Will tahu,”
Kutepuk dahiku keras. Gawat! Bagaimana kalau orangtua anak-anak iini tahu? Aku hampir marah pada Pilt. Tapi aku jadi terharu ketika kulihat wajah Pilt begitu gembira menerima permen dari Jeni. Pilt mengunyah permen perlahan sambil memeluk Jeni yang mengelus-elus kepala Pilt. Aku jadi teringat ucapan Pilt malam sebelumnya,
”Sekarang aku ingin jadi monster yang tak menyeramkan, monster yang tampan. Jadi aku punya banyak teman di sini.”
Aku terenyuh. Mana ada monster yang tak menyeramkan. Mungkin cuma anak-anak seperti Jeni, Marthina, dan Will saja yang menganggap Pilt tidak menyeramkan. Aku yakin mereka berempat bisa bersahabat. Kupinjami alat berbentuk terompetku sehingga mereka bisa berkomunikasi.

Kini, sudah 20 tahun aku tak bertemu Pilt. Masih kuingat malam itu Pilt menghilang dari kamarnya. Ketika sejumlah orang dewasa memaksa masuk. Rupanya orang tua Jeni, Marthina, dan Will mencurigai anak-anak mereka yang sering pergi sambil membawa makanan dari rumah. Setelah diikuti, akhirnya ketahuan, anak-anak mereka sedang bermain dengan monster.
Pasti Pilt ketakutan ketika orang-orang dewasa itu beramai-ramai hendak menangkapnya. Ia disangka monster jahat. Untung Pilt sempat melarikan diri.

Pilt tak pernah muncul lagi. Sesekali ada berita di koran tentang mahluk berbulu coklat di kereta api bawah tanah. Aku tak berusaha menyelidikinya, meski pun aku yakin itu pasti Pilt. Biarlah Pilt tinggal di lorong-lorong kereta api bawah tanah yang mirip dengan tempat tinggalnya dulu. Biarlah Pilt mengajak manusia bersahabat dengan caranya sendiri.