Bima dan Sungai Opak

Cerita Rakyat : Jawa Tengah
Sungai Opak yang mengalir di sebelah Candi Prambanan sering meluap. Ketika hal ini terjadi maka desa di sekitarnya amat menderita karena musibah banjir dan longsor. Korban pun berjatuhan.

Drona adalah guru seorang pemuda gagah bernama Bima. Pada suatu hari, ia memanggil muridnya untuk pergi mencari air perwitasari, yaitu ˜air kehidupan” yang konon berada di hutan belantara yang sangat berbahaya. Hutan ini berada di puncak gunung Merbabu.

Di tengah perjalanan, Bima dihadang oleh dua sosok raksasa yang mengejeknya. Raksasa itu mengatakan bahwa gurunya, Drona, menginginkan kematiannya dengan alasan mencari Perwitasari.

“Ketahuilah, Bima, yang dimaksud air kehidupan tersebut tidak pernah ada. Gurumu hanya menginginkan kematianmu,” demikian mereka berkata.

Bima marah mendengar gurunya difitnah. Dia tidak percaya bahwa sang guru tega mengorbankan dirinya dan menghendaki dirinya tewas. Maka, dengan sekuat tenaga dia menghajar kedua raksasa tersebut. Setelah beradu kesaktian sekian lama, Bima berhasil memukul kepala dan perut keduanya. Seketika kedua raksasa tersebut berubah wujud menjadi sosok dewa. Ternyata mereka sedang menguji iman kesetiaan ucapan Bima pada gurunya.

Kedua Dewa tersebut mengatakan, Hai, Bima, engkau kesatria yang gagah, semoga engkau akan selalu menjadi pemuda yang bertanggung jawab dan memenuhi janji yang telah terucap.

Kedua dewa itu kemudian melepas Bima yang melanjutkan perjalanan pulang. Dia penasaran ingin segera menemui gurunya untuk bertanya mengapa memberi tugas mencari hal yang tidak pernah ada. Ternyata dia masih dipengaruhi pemikiran bahwa ”air kehidupan” yang dicarinya, memang hanya omong kosong.

Sang guru dengan lembut berkata, “Anakku, Bima, aku tidak pernah memintamu untuk menyerahkan jiwamu. Aku tidak pernah mau mencelakaimu. Aku tidak pernah memintamu untuk mati dengan sia-sia. Perwitasari itu memang ada, tapi ketika kau tiba di puncak Merbabu, Perwitasari sudah pergi. Sekarang dia pindah di dasar sungai Opak.

Bima terdiam.

“Apakah engkau akan berjanji untuk mengambil Perwitasari tersebut?” Sang guru bertanya kepada Bima.

“Ya, aku akan pergi dan tidak akan kembali jika belum mendapatkannya, Guru,” jawab Bima.

Bima pun kemudian menuju sungai Opak yang sedang meluap. Kakaknya Pandu dan adiknya Arjuna, Nakula dan Sahadewa menghalanginya. Mereka menasihati Bima untuk tidak menyelam kedalam sungai tersebut karena pasti mati.

Bima berkata,” Aku ksatria akan tetap memegang janjiku! Pantang aku mengingkari janji yang telah kubuat!”

Kunti, bundanya datang dan berkata, “Benar, Anakku, betapa aku takut engkau menemui ajal, tetapi engkau sudah membuat perjanjian mencari air perwitasari. Seorang ksatria sejati akan selalu memegang janjinya.

“Baik, Bunda.”

Setelah bersujud memberi hormat pada ibunya, Bima pun terjun ke dalam sungai yang sedang bergejolak. Seketika itu muncul seekor naga yang menyerangnya. Dengan terlatih, Bima melayaninya. Dengan kuku Pancanaka yang terpasang di ujung ibu jarinya, dia menusuk sang naga. Peristiwa ini membuat air seketika menjadi merah oleh darahnya, tapi lambat laun air berubah menjadi kuning keemasan, dan muncullah sesosok mungil wujud dirinya.

“Masuklah ke telingaku Bima…,” terdengar sebuah suara halus menyapa Bima.

“Siapa engkau?” Bima bertanya heran.

“Masuklah, Bima,” kembali suara sosok mungil dirinya memanggil dan memerintahnya lagi.

Anehnya, Bima menuruti. Dia masuk ke dalam telinga wujud mungil dirinya. Di dalamnya Bima merasakan ketenangan yang luar biasa. Bima sadar, Perwitasari ˜air kehidupan” tersebut memang tidak berwujud, dia tidak bisa diambil, tetapi dihayati sebagai bagian jiwanya. ˜Air kehidupan” yang dimaksud adalah kesadaran akan tingkah laku, kesombongan hanya sikap yang memalukan.

Para dewa menyaksikan Bima sudah mendapatkan kesadaran, dia sudah mendapatkan ˜air kehidupannya”. Untuk mengabadikannya, para dewa melukis langit dengan jutaan bintang, dan terbentanglah sebuah hamparan lukisan bintang yang indah, dan dinamakan BIMA SAKTI.