Sebutir Berlian dan Sekantong Gandum

berlian-gandumSyahdan, pada satu masa dahulu di suatu negeri, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Pak Ulung namanya. Sesuai namanya, Pak Ulung saudagar yang ulung dan ulet dalam bekerja. Perniagaannya sampai ke negeri-negeri yang jauh. Berbagai macam barang yang diniagakan. Ketika pulang, membawa keuntungan beserta oleh-oleh berbagai rupa.

Pak Ulung telah lama ditinggalkan istrinya, Bu Ulung, menghadap Sang Pencipta. Pak Ulung memiliki dua orang anak lelaki, bernama Si Tulus dan Si Irus. Si Tulus dan Si Irus sudah remaja. Mereka hidup dalam gelimang kecukupan harta. Rumahnya besar, tanahnya luas, dan pembantunya banyak.

Pada satu hari, Pak Ulung jatuh sakit. Demi kesembuhan, berbagai tabib didatangi dan mendatangi Pak Ulung. Namun sakit Pak Ulung tidak jua sembuh, malah bertambah-tambah. Dan perniagaan pun dipercayakan pada pembantu-pembantu Pak Ulung.

Sayang sekali, pembantu-pembantu Pak Ulung banyak yang tidak jujur. Perniagaan sering merugi. Dan harta pun terjual satu demi persatu, hingga tersisa sedikit saja. Karena sakit yang tak kunjung sembuh, Pak Ulung merasa hidupnya tak lama lagi. Maka dipanggilah kedua anaknya, Si Tulus dan Si Irus ke tepi ranjangnya.
Anakku Tulus dan Irus, hidup ayah tidak lama lagi, kata Pak Ulung pelan.
Ayah jangan berkata begitu, Ayah tidak boleh berputus asa, rintih sedih Si Tulus.
Jika ayah pergi, siapa yang akan menghidupiku? rengek Si Irus.
Pak Ulung melanjutkan kata-katanya, Kalian adalah lelaki, kelak harus mandiri. Ayah selama ini telah memberi kalian harta dan ilmu yang kerkecukupan. Namun kini yang tersisa, cuma rumah yang sederhana ini, sebidang tanah dengan sekantong gandum, dan sebutir besar berlian. Kalian tinggallah di rumah ini sampai mandiri. Sisanya pilihlah untuk bekal hidup kalian.
Dan kesokan harinya, Pak Ulung pun menghadap Sang Pencipta. Sedih betul Si Tulus dan Si Irus. Namun mereka harus melanjutkan kehidupan. Maka teringatlah keduanya akan wasiat sang ayah. Sebidang tanah beserta sekantung bibit gandum, dan sebutir berlian besar.
Aku memilih sebutir berlian. Bagian Kak Tulus saja sebidang tanah dan sekantung gandum itu, sergah Si Irus.
Si Tulus bimbang. Nilai sebidang tanah dan sekantung bibit gandum sangatlah sedikit dibanding sebutir besar berlian itu, pikir Si Tulus. Namun karena sayangnya Si Tulus pada Si Irus, maka Si Tulus setuju.
Baiklah, Semoga berguna bagimu, Dik Irus, jawab Si Tulus.
Maka keesokan harinya pergilah Si Irus ke Kota Raja, untuk menjual berlian. Lupalah Si Irus akan nasihat sang ayah. Tak jua mencari kerja, dihabiskannya sedikit demi sedikit hartanya. Sementara sang kakak, Si Tulus, cemas menunggunya di rumah.
Si Tulus, dengan sekantung bibit gandum dari sang ayah, mulailah berladang di sebidang tanah ayahnya. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun berganti. Si Tulus terus bekerja, senantiasa berdoa, serta tak lupa berderma. Merangkak dari petani sederhana hingga menjadi tuan tanah, dan pula belajar berniaga seperti ayahnya dulu. Sedangkan Si Irus hidup terlunta-lunta di Kota Raja.
Dan pada satu ketika, Si Tulus pergi ke Kota Raja. Hingga tidak sengaja bertemulah Si Tulus dengan seorang pemikul barang yang terlihat letih dan tua, dengan topi lebar menutupi kepalanya.
Boleh saya bawa barangnya Tuan, Cukuplah sekedar makan buat saya, pinta lirih sang pemikul.
Hati Si Tulus berdesir. Sepertinya tidak asing suara sang pemikul. Si Tulus menatap lekat-lekat. Menyibak topinya. Ternyata Si Irus! Dipeluknya tubuh lusuh sang adik. Dan Si Irus pun juga terperanjat, menyadari sang kakak.
Pulanglah bersamaku, haru Si Tulus.
Tidak Kak Tulus, aku malu menjadi beban.
Akan kuajari engkau bekerja, selama ada kemauan!
Dan Si Irus pun cuma bisa tertunduk malu. Namun Si Tulus tetap menggandeng Si Irus pulang.